Selamanya, Kita kan Selalu Dekat
Mei, 2012
“aku mencintaimu, Va !”, aku merasa ingin tertawa.
“ha.ha..ha, udah lah al! Jangn gitu”, meski aku tertawa
aku mengatur volume suaraku agar tak terdengar oleh dalam rumah.
“aku serius, Va! Hmm..gimana?”,
“aku suka punya sahabat kaya lu”,
“ga bisa lebih, Va?”,
“kita udah sahabatan semenjak 4 tahun yang lalu”, ku atur
suaraku agar tak menyakitinya.
“jadi, kamu menolak?”,
“buat apa?, ini sudah lebih dari cukup, persahabatan kita
gak akan pernah luntur, aku kamu Salwa Mawar Denov Awan, kita akan tetep
bersama”,
“hum, aku mengerti ! oke, makasih untuk semuanya, aku
balik dulu”, wajah Aldian mendadak berubah pucat, tak ada keiklasan di baliknya,
tak ada kehangatann persahabatan pertemuanku dengannya malam ini. Ku tutup
pintu rapat-rapat.
“semoga, semuanya akan baik-baik saja, maafkan aku, Al”,
benakku. Seketika ingatanku melayang pada suatu kejadian yang sama.
Juni, 2008
“Ova ! lihat sini”, seseorang memanggilku dari jarak 5
meter, tepatnya selesai pesta di suatu acara pernikahan temanku.
“I LOVE YOU”, sebuah balon merah hati bertuliskan kata I
LOVE YOU muncul di hadapanku, dan tampak siluet wajah Aldian di balik balon itu.
“..”, ku bengong sendiri.
“ayok, aku anter pulang”,
“ehm, kagak usah, ntar ngrepotin”, kataku masih polos.
“siapa bilang?, yuk!”, tanpa persetujuan dariku, Aldian
meraih tanganku menarikku untuk mengikuti langkahnya, tak ku sangka aku berada
di dekatnya, teman baruku sekaligus kefairannya membuatnya melejit berubah
status sebagai sahabat teman-temanku, sahabatku juga.
“Va!”, dia menghempaskan lamunanku.
“iya kak, ada apa?”,
“hem, aku suka sama kamu”, tak dibatasi dengan
alang-alang, kalimat tersebut membuat bujur ragaku terasa kaku. “aku sayang
kamu, semenjak kita bertemu”,
“ak..aku gak tahu harus ngomong apa”, suaraku terasa
tercekik.
“aku tahu, mungkin aku terlalu lancang, hmm..saat ini aku
hanya ingin kamu tahu perasaanku”,
“kak, aku ingin menjadi sahabat kamu, selamanya kita kan
selalu dekat”, tanpa ku sadari perkataan tersebut dengan lancarnya keluar dari
mulutku, dia menatapku sesaat mencoba mencerna arti kataku.
“maksudnya apa, Va? Kamu tak mau memberi kesem..”,
“kakak, udah ya.. makasih buat malam ini”, aku langsung
berlari menuju pintu rumahku, menghiraukannya, yang ku inginkan hanyalah
sendiri untuk menenangkan detak jantungku yang tak ku ketahui arti semua ini,
arti detak jantungku, aku tak tahu.
Juli, 2012
Suara jangkrik melengking menjadi backsound suasana malam
ini, bertemakan 2 cangkir milkcoffee di suatu meja bundar teras rumahku.
“oh ya, Naufa! Kemarin aku ketemu sama Aldian, hem tapi
sayangnya dia gak ngliat aku!”, jantungku terasa berdegub kencang setelah mawar
menyebut namanya, nama yang akhir-akhir ini sempat vakum di pikiranku.
Tiba-tiba langsung menjalar setelah mawar mengatakan headline cerita yang masih
rumpang. “Naufa! Haloo, kok nglamun sih!”,
“eh, egak egak, memangnya ketemu dimana?”, aku adalah
Naufalia Ifhannada, panggilanku Naufa hanya saja Ova adalah panggilan khusus
dari seseorang yang bernama Aldian, entah dari mana namaku bisa bermetafosis
menjadi Ova.
“di rumah si Asep, tau kan tetangga aku itu, malahan gak cuma
kemarin deh, hampir tiap hari Aldian nongkrong di sana, sampe malem-malem lagi,
habis itu kluyuran ntah kemana gitu, heran aku, Fa. Setahuku Aldian kan anak
rumahan, kok suka kluyuran juga ya, hahaha”, cerita Mawar ada benarnya,
perubahan Aldian juga terasa bagiku, dia gak kayak dulu, sekarang dia lebih suka
keluar malam, dia juga gak pernah gabung sama teman-teman kayak dulu, lebih
tepatnya dia ngilang di telan bumi belahan lain. Tiba-tiba hatiku terasa sesak,
apa sebabnya dia berlaku seperti itu ngejauhin otang-orang di sekitarku, bahkan
aku.
Akhir-akhir ini, aku disibukkan dengan fikiran yang tak
lepas dari seoarang Aldian, batinku menggerakkanku untuk membuka kotak kado dari
laci yang sempat terdiam di sana. Isinya masih sama, tak berubah seperti 3
tahun yang lalu, di dalam kotak itu terdapat sketsa wajahku karya Aldian dan
sebuah buku novel yang di berikan Aldian kepadaku, mendadak perasaan bersalah
yang amat besar berkecamuk di fikiranku dan aku masih tetap tak mengerti, apa
arti semua ini.
November, 2012
Kali ini rencana teman-temanku untuk hang-out ke pantai
akan terlaksana. Ketika mentari masih menyembul malu-malu, aku, Denov, Mawar,
Awan, dan Salwa sudah berkumpul di depan rumahku, semua tampak siap berangkat
dengan berkendaraan bermotor.
“teman, ayog cap-cus sekarang, gak sabar nih!”, ajakku
dengan penuh semangat, setelah kurasa semuanya tampak siap, keeksotikan pantai
pelang yang aku rindukan, oh!
“bentar, masih ada satu teman yang tertinggal nih, kita
tunggu dulu yah!”, ucapan Mawar membuatku bingung, satu teman siapa itu? Ku
lirik semua teman-temanku, genap gak ada yang kurang.
“siapa Ma?”, belum sempat pertanyaanku terjawab,
seseorang bersepeda motor datang ke gerombolan kami. Postur tubuh yang tak
asing lagi, seketika itu jantungku berdecak tidak normal.
“Aldian”, desisku. “dia datang tak terduga yang justru
membuatku tak siap untuk menata perasaanku yang sampai saat ini aku tak
mengerti”, desisku dalam hatiku.
“Naufa! Ayo”, Awan melambaikan tangannya, memecah
lamunanku, dan saat memulai perjalanan ini ku lihat Aldian yang membonceng
Mawar, ahh !! perasaan apa lagi ini, dengan segera ku tepis semua perasaan
burukku.
Dalam perjalanan 2,5 jam, pengliahatanku tak berhenti
memperhatikan motor merah maroon di depanku yang dikendarai oleh Aldian. Ahh!!
Andai aku yang di sana bersamanya, entah dari mana berasalnya, suatu energi
muncul dari dalam jiwaku yang tak termunafikkan, aiish!! Apa-apa’an sih Nouf!!
Berhenti berkhayal, semua adalah sahabat kamu, Nauf!! Gak ada yang lebih, semua
sama. Dan tiba-tiba setitik air mata jatuh merembes di pipiku, Tuhan! Aku tetap
tak mengerti apa maksud semua ini.
Pantai Pelang, November 2012
Waahw!! It’s a beautiful day ! tempat yang selalu
membuatku tenang dengan backsound debuaran ombak, sebuah instrument yang paling
aku sukai. Ku berjalan sendiri di bawah pohon kelapa di atas batu karang putih
keperakan. Dan dari tempat itu, ku bisa melihat teman-teman berteriak bermain
ombak, ahh! Aku hanya ingin sendiri di tempat ini.
“Ova”, suara yang tak asing mengagetkanku, sontak terasa
hawa menyedot seluruh tenagaku.
“aku boleh duduk di sini?”, dia melangkahkan kakinya
duduk di sampingku.
“instrument yang paling indah”, kata-kata Aldian membuatku
tercekat tak mampu berkata apa-apa.
“ombak itu, rela menabrakkan dirinya ke karang,
berguling-guling tanpa kenal lelah hanya ingin mereka tak mau menghentikan
sebuah suara instrument yang mampu membuat kedamaian di batin yang lelah”,
“ombak itu baik yah!”, entah apakah Aldian ingin mengajakku ngobrol, atau hanya
mencurahkan batinnya yang tak perlu suatu jawaban dan aku masih mampu
mendengarnya saja, tanpa berkata sedikitpun.
“Ova”,
“iya?”,
“makasih ya, buat semua instrumentmu selama ini, maafkan
aku”,
“maksudnya apa? Aku ..aku gak mengerti”,
“hmm”, dia hanya menatapku penuh arti, tanpa ia menjawab
pertanyaanku, ia sudah meninggalkanku sendiri, sebuah pertanyaan yang di ambang
fikiranku.
Instrumen...
Maaf..
Apa maksud semua ini.
10 November 2012
Hapeku berdering, ketika ku bangkit dari tidur nyenyakku,
sebuah pesan sinkat muncul pada layar hpku.
“Aldian”, sebuah nama yang pertama kali terjangkau penglihatanku
pada layar hp. Seketika ku membuka isi pesan Aldian.
From
: Aldian
Ova,
sedang apakah? Aku ingin mengajakmu satu hari ini saja, ada hal penting.
“ada apa ya kira-kira, hmm”, langsung ku replay sms
Aldian.
To :
Aldian
Hari
ini, aku free. Oke, gak masalah.
Tak lama kemudian, suara ketuk pintu terdengar
bersahutan.
“Naufa ! ada Aldian menunggumu di depan”, suara Ibuku
membuatku kaget, Aldian benar-benar datang.
“iya, Ibu. Tunggu bentar lagi”, dengan cepat ku
persiapkan diriku, dan setelah semuanya cukup, ku langsung menuju ruang depan.
“Aldian”, sapaku dari belakang tubuh Aldian yang tampak
berdiri melihat halaman depan rumah.
“hy Ova! Udah siap?”,
“memang kita mau kemana?”, tanyaku penasaran.
“sssttt... diam, udah yuk berangkat!”, setelah ku dan
Aldian berpamitan, ku mengikuti langkahnya menuju Honda Jazz biru yang terparkir
di halaman rumahku, dengan cepat mobil itu langsung melesat.
“Aldian, memang kita mau kemana sih?”,
“Hehehe, masih di Indonesia kok Va, panitia travel akan
bertanggung jawab penuh atas penumpangnya. Jadi, gak usah khawatir, oke! Cuma 1
persyaratannya, kamu harus nurut”, pidato pembukaan Aldian membuatku tercekat.
“ha?? Aku makin bingung deh!”,
“hehehehe !”, tak lama kemudian mobil mencuat ke suatu
daratan yang asing, mungkin ini daerah pegunungan. Dan tiba-tiba Aldian
menghentikan mobilnya, mengambil sebuah sapu tangan dari dashboard.
“dan ini, merupakan bagian dari tata tertib persyaratan”,
Aldian memakaikan sapu tangan untuk menutupi kedua mataku.
“aduuh, apa-apaan sih ini”, desisku mencoba melepas sapu
tangan konyol ini tapi tanganku dicegah oleh Aldian.
“eits, harus nurut!”,
“iya, deh”,
“jangan sampai dibuka lo! Awas kalo curang!”, tegas Aldian
sekali lagi.
“siap boss!!”, kataku sambil posisi menghormat ke depan,
padahal Aldian berada di sampingku, terdengar suara tertawa kecil Aldian.
Mobil yang aku tumpangi serasa naik dan menuruni
perbukitan, meleok-leok kadang gelap kemudian terang lagi akibat sinar
menyengat tubuhku. Aku tak bisa menebak-nebak kemana tujuanku bersamanya.
Sekian lama perjalanan ini, akhirnya mobil terasa
berhenti, sejenak aku tunggu perintah Aldian agar aku membolehkan membuka
mataku, tetapi perintah itu tak kunjung datang.
“Aldian”, sapaku.
“...”, senyap.
“Aldian !”, kataku setengah berteriak sambil meraba-raba
jok sopir, tapi tak ada seorangpun. “Aldian, kamu dimana?? Al..”,
Tiba-tiba semilir angin menyibakku dari arah kiri,
jendela depan terbuka. “Aldian”,
“nyonya Ova, silahkan turun”, suara Aldian terdengar dari
luar jendela, ku turuti perintah Aldian. “sekarang jalan, ya!”,
Ku tertatih melangkah mengikuti langkah Aldian, angin yang
menenangkanku, damai, tempat dimanakah ini? Seribu pertanyaan yang sama
berkecamuk di fikiranku, tiba-tiba sandalku di lepas oleh Aldian, membiarkan
kaki-kaki telanjangku merasakan tanah, dan pasir. Ku merasakan butiran pasir
yang mulai menempel di telapak kakiku, dan sesaat sebuah air menyibakku dari
arah depan menyentuh kakiku. Sayup-sayup instrument mulai terdengar. Sejenak
indraku berfungsi menebak indra perasaku.
“ombak !, ini suara deburan ombak, laut dan pasir putih”,
decakku hampir tak percaya dengan semua ini.
“sebuah instrument yang paling indah”, Aldian bersuara.
“sekarang kamu boleh membuka mata kamu”, seketika ku langsung melepas sapu
tangan yang menutupi mataku. Dan, hamparan gunung, lautan lepas, pasir putih,
burung-burung yang bertebangan bersamaan suara ombak semuanya indah. Pantai
yang indah, penglihatanku tak henti-hentinya menyapu semua seluruh pemandangan
indah di depanku ini, hanya ada aku dan Aldian di tengah-tengah luasnya hamparan
pasir dan laut yang tak bertepi.
“Aldian, indah bangett”, suaraku parau hampir tak percaya.
“seindah persahabatan kita”, dengan tenang, pernyataan
Aldian membuatku terkejut. “laut yang memainkan instrumentnya dengan deburan
ombak-ombaknya sama seperti kamu yang memainkan instrumentmu dengan menjaga
persahabatan kita”, perkataan Aldian membuatku tersenyum.
“ini juga instrumentmu”,
“tapi, kamu yang memainkannya”,
“jadi ?”,
“aku bahagia punya sahabat kayak kamu”, ucap Aldian.
“tunggu dulu, sa-ha-bat?”, tanyaku untuk meyakinkan.
“iya, cinta jadi sahabat terus selalu dekat. Haha, bukan
sahabat jadi cinta terus jadi musuhan deh”,
“hahahhaa, makasih Aldian”, jawabku terharu.
“seharusnya aku yang berterimakasih pada kamu”, dengan
lembut Aldian merengkuhku dengan hangat, sehangat angin semilir serta sinar
matahari saat ini.
“kita akan jadi sahabat, selamanya kita akan selalu
dekat”, ucapku dan Aldian hampir bersamaan.
“hahahaha”, kami tertawa bahagia menikmati indahnya
persahabatan kami.
-end-
by : Nita D Husna
Komentar
Posting Komentar